Minggu, 11 Maret 2012

Pemuda Minang Motor Gerakan jadi Pengusaha

Oleh : Zulhendri Hasan
Dewan Kehormatan BPP Hipmi, Ketua LBH BPP Hipmi
Zulhendri hasan
Untuk menciptakan semakin banyak pengusaha di Indonesia, diselenggarakan kegiatan seperti ”Mandiri Young Technopreneur Award” yang bertujuan selain mendorong pemanfaatan inovasi teknologi nasional bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, juga menumbuhkan teknopreneur nasional. Generasi muda didorong untuk terus menciptakan karya-karya inovasi teknologi untuk kemajuan bangsa Indonesia.

Dalam sebuah seminar bisnis di Jakarta sekitar Agustus 2007, seorang pakar bisnis Amerika mengatakan untuk ke luar dari ”kemandekan” perekonomian, Indonesia membutuhkan setidaknya 2 persen entrepreneurship dari seluruh populasi masyarakat Indonesia. Jika fakta tersebut dihubungkan dengan kenyataan di Indonesia sekarang, akan kita temukan beberapa hal penting berikut ini; Dengan asumsi jumlah penduduk Indonesia 250 juta orang, maka dengan rasio 2 persen setidaknya Indonesia harus memiliki 5 juta pengusaha/entrepreneur sebagai lokomotif utama perekonomian yang membayar pajak, dan menciptakan lapangan kerja.


Faktanya, jumlah kalangan pengusaha Indonesia sekarang ini baru sekitar 400 ribu. Artinya, terdapat kekurangan sangat besar sejumlah 4,6 juta orang entrepreneur. Dalam urusan jumlah pengusaha, Indonesia masih jauh ketinggalan dibanding beberapa negara Asia lainnya. Berdasarkan presentase, jumlah pengusaha di Indonesia hanya 0,24 persen dari total penduduk Indonesia, atau sekitar 40 ribu orang, jumlah ini relatif sangat kecil jika dibandingkan Singapura 5-7 persen, USA 11,5-12 persen, China 10 persen, India 11 persen. Pada dasarnya sebuah negara akan relatif stabil jika di negara tersebut memiliki minimal pengusaha 2 persen.
Sungguh ironis memang, dengan jumlah pengusaha 2 persen sebenarnya akan membantu perekonomian bangsa Indonesia yang memiliki jumlah penduduk kurang lebih 237,6 juta jiwa. Dan, jika 2 persen jadi pengusaha, artinya Indonesia memiliki 4,74 juta pengusaha. Coba kita misalkan 4,74 juta pengusaha ini memiliki rata-rata karyawan 10 orang, berarti akan tersedia lapangan pekerjaan untuk 47,4 juta orang. Dengan jumlah sebesar itu, setengah dari jumlah pengangguran akan berkurang dari jumlah sekarang yang mencapai 8,12 juta orang. Saya rasa jumlah itu cukup untuk mengatasi permasalah pengangguran di negara kita tercinta ini.

Dengan berkurangnya pengangguran, maka perekonomian negara kita akan jauh lebih stabil daripada sekarang. Di sisi lain, jumlah pengusaha yang sedikit mengakibatkan supply dari dalam negeri sangat terbatas. Adanya gap yang lebar antara supply dan demand menjadi peluang besar yang sangat menarik. Peluang tersebut menjadi daya tarik bagi luar negeri maupun importir, karena itu barang impor membanjiri Indonesia (terutama dari China). Padahal, seharusnya peluang itu juga ditangkap para calon pengusaha. Namun masalah yang sebenarnya bukan hanya pada fakta kurangnya jumlah pengusaha tersebut, tapi juga kualifikasi dari jumlah pengusaha 400 ribu orang itu. Sudah menjadi rahasia umum di Indonesia, prioritas kebanyakan orang Indonesia umumnya adalah ingin menjadi pegawai. Sehingga, jumlah pengusaha di Indonesia masih sangat jauh tertinggal dibandingkan negara-negara lain.

Ayo jadi Pengusaha
Berdasarkan sejarah selama berabad-abad, perdagangan hasil tambang dan pertanian Minangkabau telah menjadi sumber utama dalam kemajuan ekonomi Samudera Hindia yang dinamis. Pedagang-pedagang besar Minangkabau telah berdagang sejak abad ke-7. Mereka menjadi pedagang berpengaruh yang beroperasi di pantai barat dan pantai timur Sumatera. Perdagangan emas pada mulanya menjadi perdagangan utama masyarakat Minang. Lembah Tanahdatar merupakan tempat penting sebagai penghasil emas untuk ekonomi Minangkabau.

Berdagang merupakan salah satu kultur menonjol dalam masyarakat Minangkabau. Bagi masyarakat Minang, berdagang tidak hanya sekadar mencari nafkah dan mengejar kekayaan, tetapi juga sebagai bentuk eksistensi diri untuk menjadi seorang yang merdeka. Dalam budaya Minang yang egaliter, setiap orang akan berusaha untuk menjadi seorang pemimpin. Menjadi sub-ordinat orang lain, sehingga siap diperintah-perintah, bukanlah sebuah pilihan yang tepat. Prinsip ”lebih baik menjadi pemimpin kelompok kecil daripada menjadi anak buah organisasi besar” (elok jadi kapalo samuik daripado ikua gajah) merupakan prinsip sebagian besar masyarakat Minang. Menjadi seorang pedagang merupakan salah satu cara memenuhi prinsip tersebut, sekaligus menjadi orang yang merdeka.

Dengan berdagang, orang Minang bisa memenuhi ambisinya, dapat menjalankan kehidupan sesuai dengan keinginannya, hidup bebas tanpa ada pihak yang mengekang. Sehingga banyak perantau muda Minangkabau lebih memilih berpanas-panas terik di pinggir jalan, berteriak berjualan kaos kaki, daripada harus kerja kantoran, yang acap kali disuruh dan dimarah-marahi. Berkembangnya kultur dagang dalam masyarakat Minang, disebabkan adanya harta pusaka tinggi yang menjamin kepemilikan tanah dan keberlangsungannya bagi setiap kaum di Minangkabau. Dengan kepemilikan tanah tersebut, posisi masyarakat Minang tidak hanya sebagai pihak penggarap saja, melainkan juga menjadi pedagang langsung yang menjual hasil-hasilnya ke pasaran.

Berangkat dari hal tersebut Minangkabau secara universal maupun nasional, Minangkabau merupakan basic enterpreneur atau laboratorium kader pengusaha yang seharusnya menjadi pilot project, atau contoh sebagai penggerak dalam gerakan ”Ayo menjadi pengusaha!”

Oleh karena itu, gerakan yang dimotori Andre Rosiadi sebagai Ketua BSM dan Buchari Bachter Ketua Umum BPD Hipmi Sumbar, harus diberikan apresiasi guna mencapai target tersebut. Agar setidak-tidaknya dua persen dari penduduk Minangkabau harus menjadi pengusaha untuk menjadi benteng bagi perekonomian negara dan menjadi motivator bagi Hipmi daerah lain untuk melahirkan pengusaha muda di Indonesia.

Langkah ke Depan
Untuk mewujudkan generasi muda Minang entrepreneur salah satu faktor yang penting untuk diperhatikan dalam mencapai target tersebut adalah generasi muda harus memiliki mental yang mampu menciptakan peluang usaha dalam situasi dan kondisi apapun, baik senang maupun sedih, sehingga menjadi kemampuan usaha.

Akan tetapi mental entrepreneur tersebut harus dibentengi dan sejalan dengan mental nasionalisme kebangsaan, primordialisme kebangsaan dan idealisme kebangsaan. Hal tersebut sangatlah penting mengingat hal ini akan menjadi bumerang jika generasi muda pengusaha tidak mengimbangi kemampuannya dalam menciptakan peluang usaha. Harus diimbangi nasionalisme kebangsaan, primordialisme kebangsaan dan idealisme kebangsaan. Harus ada filter untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan, di mana orientasi generasi muda pengusaha tersebut tidak hanya mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, tapi loyalty terhadap bangsa adalah di atas segala-galanya.

Seharusnya bangsa ini lebih takut kepada generasi muda entrepreneur yang hebat, tampan, tapi tidak memiliki nasionalisme, primordialisme dan idealisme kebangsaan, dibandingkan generasi muda entrepreneur yang memiliki hal-hal tersebut. Mengapa?

Berdasarkan pengalaman pribadi saya ketika berkunjung ke Sumatera Barat pascagempa yang membuat banyak kota dan kabupaten yang lumpuh, adalah keprihatinan ketika banyak pemuda yang memanfaatkan momen tersebut untuk mengkomersialkan charger (cas) handphone untuk disewakan kepada masyarakat yang pada saat itu sangat membutuhkan komunikasi, menghubungi sanak keluarganya dengan harga sangat tidak masuk akal. Begitu pula penjual bahan bakar minyak yang menjual bensin dengan harga sangat tinggi sekali karena kelangkaan bahan bakar. Hal-hal seperti ini bukanlah mental seorang entrepreneur, tetapi mental seorang pecundang.

Jadi, sangat penting bagi generasi muda pengusaha untuk memiliki nasionalisme, primordialisme dan idealisme kebangsaan untuk mengimbagi kemampuan usahanya. Jika tidak, tentunya suatu saat kita harus membayar untuk menitipkan sandal ketika akan Shalat Jumat atau seperti membangun masjid yang begitu indahnya dengan atap terbuat dari emas, pilar yang terbuat dari perak. Namun, ironisnya orang-orang yang datang justru membayar untuk melihat saja, bukan untuk beribadah. (*)

sumber: http://padangekspres.co.id/?news=nberita&id=1553

Tidak ada komentar:

Posting Komentar