Minggu, 11 Maret 2012

Berdayakan Potensi Daerah jadi Mesin Penggerak Ekonomi

Andre Rosiade, Ketua Ayo Jadi Pengusaha Sumbar, BPD Hipmi Sumbar

Andre Rosiade
Pada masa silam, dibanding dengan daerah tetangga, Provinsi Sumbar memiliki perkembangan pesat dari berbagai sisi kehidupan, tak terkecuali dalam bidang perekonomian.
Namun, pascatahun 1990-an hingga kini, provinsi tetangga seperti Riau dan Jambi mulai meninggalkan Sumbar. Begitupula dengan Kota Padang sebagai ibukota provinsi Sumbar yang ekonominya terpukul pascagempa 30 September 2009.

Seperti pandangan Andre Rosiade, Ketua Ayo Jadi Pengusaha Sumbar, BPD Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Sumbar terhadap persoalan itu?
Dan bagaimana pula pengembangan potensi Sumbar yang besar sehingga bisa berdampak signifikan terhadap peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat? Berikut petikan wawancara wartawan Padang Ekspres, Ganda Cipta dengan pengusaha muda sukses yang baru sembilan tahun menggeluti dunia bisnis ini, Jumat (27/1).

Sumbar dinilai tertinggal dibanding Riau dan Jambi, termasuk bidang ekonomi. Pandangan Anda?
Dari berbagai data dan fakta, memang begitu. Tidak bisa kita tutup-tutupi. Padahal, terus terang saja saya katakan, daerah kita ini memiliki potensi besar untuk maju dan berkembang.

Meski tidak memiliki sumber daya alam (SDA) melimpah,  Sumbar memiliki  kekayaan alam dan budaya untuk pengembangan sektor pariwisata, pertanian, perkebunan, dan pertambangan.
Infrastruktur pendukung pun telah ada seperti Pelabuhan Teluk Bayur dan Bandara Internasional Minangkabau (BIM) untuk mempermudah dan mempercepat arus barang dan orang antar daerah di Indonesia dan akses ke luar negeri. Begitupula dengan kultur masyarakat kita di Minang, punya jiwa berniaga dan lobi yang kuat serta pintar-pintar.

Kendalanya?
Potensi yang besar itu, tidak dikelola dan kembangkan secara baik. Misalnya untuk pariwisata, potensi daerah kita jauh lebih besar dan indah dibandingkan dengan daerah lain, bahkan Bali sekalipun. Sumbar pun mestinya menjadi daerah tujuan wisata utama di Indonesia. Itu bukan saya sendiri yang bilang. Rekan-rekan saya dari daerah lain yang pernah berkunjung ke Sumbar, mengakui itu. Bahkan mereka terkagum-kagum.

Namun ya itu tadi. Mereka menyayangkan kenapa pelayanan, fasilitas, dan infrastruktur  serta pengelolaannya begitu kurang baik. Nah, ini masalah yang perlu jadi catatan penting bagi pemangku kepentingan di kabupaten dan kota di daerah ini untuk membenahinya, tak terkecuali Kota Padang.

Sejauh ini, yang saya pantau baru beberapa daerah yang sudah mengelola wisatanya dengan cukup baik. Bukan lagi Kota Bukittinggi dan Padang, tapi sudah mulai bergeser ke Kabupaten Agam dan Kota Sawahlunto. Kedua daerah itu belakangan berkembang pesat kunjungan wisatawannya.

Cara mengemasnya pun cukup baik, seperti dengan menggelar wisata bersepeda atau gowes di seputaran Danau Maninjau, dan mempertahankan kota tua sebagai warisan budaya di Sawahlunto. Masyarakat juga dilibatkan dalam pengembangan objek wisata dengan pendekatan-pendekatan yang berdampak ekonomi bagi mereka ke depannya.

Nah, mestinya di situlah peran dari pemangku kepentingan di daerah. Sebab, konsep pengembangan wisata ke depan tidak lagi hanya mengandalkan orang datang, lalu lihat pemandangan saja. Tapi perlu ada kreativitas dan inovasi.

Promosi pariwisata pun juga perlu ditingkatkan ke Timur Tengah, karena latar budaya dan agama yang dimilikinya, sama dengan kita di Minangkabau. Apalagi Negara di kawasan tersebut saat ini juga tidak terimbas krisis utang seperti di Eropa.

Hanya Pariwisata?
Potensi besar lainnya adalah di bidang pertanian, perkebunan, dan pertambangan. Semua itu, untuk diketahui adalah komoditi konsumsi lokal dan juga ekspor yang memiliki nilai tambah yang besar bagi daerah dan masyarakat jika serius dikem bangkan.

Namun, sejauh ini saya lihat baru sebatas barang mentah lalu diekspor atau tidak diolah hingga muncul produk turunan. Jika itu dilakukan, begitu banyak industri yang akan tumbuh dan begitu banyak pula tenaga kerja yang terserap serta makmur pula masyarakat yang bergerak di setor pertanian atau perkebunan.

Lantas solusinya bagaimana?
Untuk itu, yang perlu dikembangkan saat ini adalah investasi dalam bidang produksi turunan dari hasil-hasil perkebunan, pertanian, dan pertambangan tersebut. Tugas itu di era otonomi sekarang lebih banyak di tingkat kabupaten dan kota atau bupati dan walikota, provinsi hanya mengkoordinasikan dan mensupport.

Kabupaten dan kota di Sumbar ini, pada dasarnya sudah memiliki modal dasar pengembangan investasi tersebut, seperti di Kota Padang telah ada kawasan Padang Industrial Park (PIP). Tinggal lagi yang perlu dilakukan adalah pembenahan infrastruktur dan proses perizinan yang ramah investasi.

Masa kita di seluruh kabupaten dan kota sudah memiliki dinas perindustrian dan perdagangan serta badan yang mengurus bidang investasi daerah, tapi tidak bisa mengembangkan programnya ke arah itu. Saya yakin, jika kepala daerah  punya visi ke arah itu, semuanya menjadi mudah dan bisa terealisasi.

Kesungguhan juga modal utama mewujudkan hal itu. Contoh kecil, terkait soal perizinan yang berbelit dan memakan waktu panjang. Tak cukup dengan menerapkan sistem perizinan satu pintu, tapi waktu pengurusannya nggak jelas dan ketika syarat tidak cukup, pengurus izin tidak diberitahu.
Sering pula pengusaha atau perusahaan yang mengurus izin dalam berinvestasi, bertanya-tanya terus kapan izinnya ke luar dan apa syarat yang kurang. Jadi, soal izin ini harus dibenahi. Kapan perlu ada petugas yang khusus menginformasikan jika suatu izin sudah selesai, tidak lengkap dan sebagainya. Itu baru layanan prima.

Di samping izin, selama ini banyak terdengar dan terlihat, masyarakat di sekitar objek nvestasi menjadi salah satu faktor penghambat masuknya investasi. Persoalannya, ya karena masyarakat merasa terpinggirkan di kampung halamannya sendiri.

Padahal, itu tugas dari pemerintah untuk mengawal dan memastikan semuanya clear ketika suatu investasi masuk. Masyarakat juga harus dipastikan telah mendapatkan hak sebagaimana mestinya. Memiriskan lagi, ada perusahaan malah dihadap-hadapkan dengan masyarakat oleh pemerintah ketika menghadapi suatu masalah. Pola-pola seperti ini yang harus diubah.

Bagaimana mengelola potensi jiwa dagang orang Minang sehingga menjadi mesin penggerak ekonomi daerah?
Begini. Saya langsung saja ambil contoh kecil dari karut-marut Pasar Raya Padang. Ini merupakan episentrum perputaran perekonomian ibukota Provinsi yang melibatkan pedagang kecil.

Saat ini, pasar-pasar tradisional memang sudah zamannya harus lebih dimoderenisasi. Tapi jangan sampai usaha itu jatuh ke tangan investor swasta, apalagi asing. Harus pemerintahlah yang melaksanakannya atau kapan perlu koperasi-koperasi pedagang yang jika digabungkan sangat begitu kuat jadi penggerak ekonomi pedagang.

Jangan sampai Pasar Raya Padang seperti Pasar Tanah Abang di Jakarta. Dengan terlibatnya investor swasta dalam modernisasi Pasar Tanah Abang, pedagang kecil menjadi tersingkir. Memang pasar tersebut menjadi bagus dan berkembang, tapi yang menikmati keuntungan dari hal itu sebagian besarnya adalah para pemodal besar, tidak pedagang kecil. Jadi, revitalisasi pasar dengan konsep demikian adalah salah satu cara menghidupkan jiwa dan semangat berdangang orang Minang itu kembali di kampung halaman.

Memberdayakan potensi yang ada seperti yang telah dicontohkan Bung Hatta, memberdayakan koperasi sebagai soko guru pembangunan. Pemerintah daerah mesti memperkuat sinerginya dengan induk-induk koperasi, termasuk Dekopin yang sudah ada di daerah-daerah.

Bagaimana dengan pemberdayaan PKL?
PKL jika diberdayakan secara serius akan berdampak luar biasa bagi perekonomian dan mengurangi pengangguran serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Mereka perlu diberdayakan, dibina dan dibantu permodalannya serta diberi tempat untuk berdagang dengan layak.

Pemko jangan malu belajar ke daerah lain yang tidak mengalami bentrok dengan pedagang jika terjadi pemindahan pedagang, seperti di Solo. Selama pedagang diayomi dan diberi kesempatan bicara, menyampaikan apa yang menjadi keinginan mereka, saya yakin masalah pedagang di Pasar Raya akan bisa teratasi.

Saya salut di Solo, PKL diberi tempat berdagang yang tidak mengganggu pejalan kaki dan arus lalu lintas serta mudah diakses pembeli. Bahkan, Satpol PP pun dengan ramah membantu menyediakan kendaraan ketika memindahkan pedagang ke tempat berjualan yang baru.

Setelah itu, jangan dibiarkan sendiri dalam berusaha. Artinya, pendataan dan pemberdayaan harus terus dilakukan, termasuk memfasilitasi mereka yang kekurangan modal untuk mengakses dana di perbankan.

Apakah semua itu bisa diwujudkan di Kota Padang?
Jelas bisa. Tinggal lagi, tergantung pemimpinnya. Jika pemimpinnya punya visi dan arah yang jelas ingin menggerakkan perekonomian daerah, saya yakin sekali itu bisa terwujud.
Tentu saja itu semua harus tergambar dari program-program yang dibuat dan dijalankan secara konsisten bersinergi dengan berbagai elemen masyarakat, dunia usaha, dan perguruan tinggi. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar