Minggu, 11 Maret 2012

Sumbar Harus Fokus Ekspor Kuliner

Sekjen Hipmi di Padang Ekspres
Kunjungi Padek: Sekjen BPP Hipmi, Harry Warganegara (tiga dari kanan depan) bese
Padang, Padek—Siapa bilang Sumatera Barat miskin sumber daya ekonomi. Hanya butuh kreativitas dan kerja keras, ekonomi Ranah Minang bisa melompat lebih jauh. Penyelenggara pemerintah daerah di Sumbar dituntut mengelola daerah layaknya perusahaan, sehingga regulasi dan program yang dilahirkan pro-dunia usaha.

Hambatan dunia usaha yang tidak kunjung terselesaikan itu buruknya infrastuktur ekonomi, birokrasi kompleks, masalah lahan dan kepastian hukum. Belum tampak kesungguhan pemangku kepentingan di daerah menyelesaikan persoalan klasik dan menahun itu hingga kini.   

Sekretaris Jenderal BPP Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), Harry Warganegara Harry mengatakan, Sumbar tidak perlu menjadi kawasan industri besar. Tetapi, aset pariwisata yang besar saja dikelola dikembangkan, mulai dari aset kebudayaan, adat istiadat hingga kulinernya sudah sangat besar dampaknya bagi perekonomian daerah dan masyarakat. Itu sangat potensial dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan orientasi ekspor.
”Saya pikir pemerintah daerah perlu mencontoh kebijakan China soal ekspor. Untuk produk-produk ekspor mereka memberikan kemudahan dengan pinjaman murah dan pajak ringan.
Tetapi, keuntungan mereka peroleh melalui devisa. Jadi, mengelola negara itu sama saja dengan mengelola perusahaan, pemasukan bisa dari kanan-kiri, tinggal bagaimana mengambil kebijakan yang menguntungkan masyarakat saja,” kata Harry Warganegara saat bersilaturahmi dan diskusi di Padang Ekspres, kemarin (7/2).

Harry didampingi jajaran Dewan Kehormatan/Ketua LBH BPP Hipmi Zulhendri Hasan, motivator Mansyur, Ketua BPD Hipmi Sumbar Buchari Bachter, Ketua BPC Hipmi Padang Braditi Moulevey, Andre Rosiade dan pengurus lainnya.

Metode yang diterapkan China dengan memberi kemudahan pada perusahaan-perusahaan berorientasi ekspor, berdampak besar terhadap tertutupinya angka pengangguran. Karena ketika ekspor dipermudah, orang akan berlomba-lomba mendirikan perusahaan berorientasi ekspor sehingga lapangan kerja banyak terbuka, dan situasi politik dan keamanan dalam negeri terkendali, karena tidak ada masyarakat yang demo.

”Mestinya, cara-cara demikian sudah diadopsi pemerintah daerah. Seperti Sumbar, CNN sudah angkat rendang sebagai makanan terlezat di dunia. Apakah itu bukan potensi? Kemudian yang jadi soal sudahkah rendang asli dari Sumbar beredar secara internasional. Yang saya temukan, rendang di pasaran internasional adalah produksi Malaysia. Nah, potensi dengan orientasi seperti yang harus dikembangkan,” katanya.

Dia menyebutkan, untuk potensi itu, kalau perlu pemerintah daerah mengeluarkan peraturan daerah (perda) khusus untuk ekspor produk kuliner Minang. ”Bikin masyarakat berlomba-lomba untuk terlibat ekspor, sehingga lapangan kerja juga tercipta dengan luas. Saya juga siap bantu untuk itu, asalkan produksinya siap,” bebernya.

Harry mendukung segera dibangunnya jalan tol Sumbar yang menghubungkan Padang hingga Pekanbaru, yang direncanakan Menteri BUMN. Agar mobilitas komoditi unggulan dan arus jasa mencapai daerah-daerah sekitar bisa lebih cepat dan tidak terganggu penyempitan badan jalan (bottleneck). Begitu pula pembenahan infrastruktur pendukung seperti bandara yang besar, serta pelabuhan yang memadai.

Untuk Sumbar, kata Harry, potensinya sangat besar. Dari 22 produk unggulan program percepatan pembangunan ekonomi Indonesia menuju Indonesia masuk enam besar negara maju 2025, sebagian besar ada di Sumbar. Komoditi sawit, cokelat, kemudian produk tambang batu bara, gas, pariwisata dan potensi lainnya ada di Sumbar. ”Produk-produk Sumbar sangat banyak, tinggal bagaimana mengemaskan menjadi bernilai tambah dan punya daya saing ekspor,” ujarnya.

Selama ini, dia menilai potensi itu belum dikelola dengan baik sehingga hasilnya tak menonjol. Untuk mendapatkan hasil maksimal, perlu dilakukan kajian-kajian apa yang menjadi penyebab bidang-bidang tersebut tidak tumbuh. Misalnya untuk pariwisata, apakah akses jalan sudah baik, kalau belum segera buat usulan ke pusat untuk dibenahi lewat program MP3EI.

”Begitu pula jalanan di kota yang macet, harus pula diatasi. Bagaimana mengatasinya, apakah perlu dibuat highway,” tandasnya dalam diskusi yang dipandu Pemred Padang Ekspres Montosori dan dihadiri Wakil Pemimpin Umum Sukri Umar dan Wapemred Heri Sugiarto, serta awak redaksi lainnya.

Harry menyebutkan, sebenarnya seluruh provinsi di Sumatera masuk dalam koridor ekonomi MP3EI. Pasalnya, semua daerah saling terkoneksi untuk percepatan pembangunan ekonomi. ”Tinggal apa yang akan dilakukan pemerintah daerah untuk berpacu mendongkrak pertumbuhan daerah masing-masing,” jelas jebolan Science Degree in Business Management & Finance di City University of New York.

Andre Rosiade yang juga Ketua Gerakan Nasional Ayo jadi Pengusaha Hipmi Wilayah Sumbar menyebutkan, sebelum investasi masuk kita sudah harus siap dengan apa yang akan kita jual.
”Jangan sampai nanti investasi masuk kita tidak siap, seperti soal dukungan pemerintah daerah, birokrasi perizinan dan ketersediaan lahan, dan lainnya. Pascagempa 2009, memang banyak juga investor yang melirik Sumbar, tapi sayangnya belum ada yang akhirnya berinvestasi. Ada apa ini? Nah, ini yang harus kita carikan solusinya bersama. Kami dari Hipmi siap untuk itu,” ujar Andre.

Perekonomian Sumbar pascagempa 2009 lalu berangsur membaik. Catatan Bank Indonesia Padang menunjukkan, pertumbuhan ekonomi Sumbar pada 2011 menembus angka 6,2 persen. Naik signifikan dibandingkan tahun sebelumnya yang baru berkisar 5,9 persen. Namun, hal itu lebih banyak didorong oleh pembangunan konstruksi (infrastruktur) yang rusak saat gempa.

Bagaimana dengan investasi? Harus diakui belum menonjol. Sumbar pun tidak masuk menjadi pelaku utama koridor ekonomi Sumatera, dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Ini harus menjadi pekerjaan rumah bagi semua pihak. Tidak hanya pelaku ekonomi, pemerintah bersama masyarakat luas juga mesti terlibat mengambil peran memperbaiki kondisi itu.

Andre juga sempat menyinggung soal investasi pembangunan pabrik Indarung VI PT Semen Padang senilai Rp 3,5 triliun yang hingga kini mesti sudah ada persetujuan perubahan kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan, tapi belum selesai di tingkat pemerintah daerah.

Sementara itu, Dewan Kehormatan BPP Hipmi Zulhendri menyebut jumlah pengusaha di Indonesia baru sekitar 0,24 persen. Padahal idealnya dibutuhkan 2 persen pengusaha dari jumlah penduduk yang ada. ”Singapura sudah mencapai 7 persen. Sekarang bagaimana kita melahirkan pengusaha yang memiliki etika yang baik hingga 2 persen, sehingga pengangguran bisa tertutupi,” katanya. (mg8)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar